Wakil menteri hukum dan HAM, Eddy Hiariej, pada acara sosialisasi RKUHP di Universitas Palangkaraya (26/10/2022).
Pict : dok. Kemenkum HAM

Draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap mengatur ancaman pidana terhadap orang yang menghina presiden dan/atau wakil presiden.

Melansir dari Suara.com, Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Moechtar mengatakan bahwa pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden merupakan alat untuk menakut-nakuti orang untuk melakukan kritik.

“Dengan mempertahankan itu (pasal penghinaan presiden) sebenernya sangat memungkinkan atau kemudian sangat menakutkan buat kritik orang melakukan kritik dan itu kan survei-survei kompas survei-survei berbagai media mengatakan orang takut kritik kenapa? karena ada ancaman salah satunya ancaman ini,” kata Zainal dalam diskusi bertajuk Pro Kotra KUHP Baru, Sabtu (10/12/2022).

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau yang kerap disapa Eddy mengatakan kritik yang dilakukan untuk kepentingan umum tidak bisa dipidana. Ia juga menegaskan bahwa penghinaan dan kritik merupakan hal yang berbeda.

“Terkait isu kebebasan berpendapat bahwa KUHP dengan tegas telah membedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik jelas tidak akan dapat dipidana karena dilakukan untuk kepentingan umum,” katanya dalam konferensi pers, dilaporkan beritasatu.com, Senin (12/12/2022).

Eddy juga menyinggung soal pasal penghinaan kepala negara dan lembaga negara yang tercantum dalam pasal 218 dan 240. Eddy, menegaskan bahwa pasal tersebut merupakan delik aduan, pihak yang dapat membuat aduan adalah presiden, wakil presiden, dan lembaga negara.

“Penghinaan di negara mana pun, termasuk kepada kepala negara dan lembaga negara jelas merupakan suatu perbuatan yang tercela. Namun, KUHP mengaturnya sebagai delik aduan, sehingga masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkan. Jadi, yang bisa mengadukan hanya presiden, wakil presiden, ataupun kepala lembaga negara,” ujarnya.

Eddy juga menjelaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru dibuat dengan cermat serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multietnis, multireligi, dan multikultur.

“KUHP disusun dengan cermat dan hati-hati. Apa pun yang menjadi pertimbangan adalah keseimbangan antara kepentingan individu kepentingan negara dan kepentingan masyarakat, serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multietnis, multireligi, dan multikultur,”
jelasnya.

Laporan: Dian Winata

Editor : Sari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *